Kreasi Me - BENTLEY. Saya baru tahu merek mobil ini setelah populernya berita tentang pengacara Hotman Paris Hutapea yang menghadiahi putrinya sebuah sedan Bentley Mulsanne model terbaru sebagai hadiah (gift/present) ulang tahun ke-17 sekaligus sebagai hadiah (reward) atas prestasi cemerlangnya di sekolah. Mobil itu disebut-sebut sama dengan jenis mobil yang dihadiahkan pabrikan Bentley Motors untuk ulang tahun Ratu Elizabeth II. Harganya pun bukan main, 9 milyar. Wew! “Penganugerahan” mobil mewah ini pun diadakan di salah satu hotel berbintang di Jakarta dan dihadiri oleh banyak selebriti. Wew! (lagi). Saya cuma bisa terdiam sambil berpikir; mobil selangit berkapasitas 6500 cc itu mau dipakai jalan kemana di Jakarta?
Ehem. Sesungguhnya bukan itu intinya. Terserah pengacara itu mau menghadiahi apa untuk putrinya tercinta. Tokh, itu pakai uangnya sendiri bukan? Tapi di dalam hati, saya miris juga. Hadiah se-luar biasa mewah itu dipamerkan lewat media. Untuk apa? Rasanya tidak pas untuk kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tak termasuk kaum jet set ini.
Memang setiap orangtua berhak membahagiakan anaknya dengan cara apapun, termasuk dengan memberi hadiah. Selain sebagai bentuk ekspresi kasih sayang orangtua kepada anaknya, sebuah hadiah juga dimaksudkan sebagai penghargaan atas prestasi atau perilaku positif yang ditunjukkan anak. Hadiah (reward) itu bisa dengan pemberian materi dengan segala bentuknya atau cukup dengan kasih sayang tulus yang ditunjukkan lewat seulas senyum, kata-kata pujian, ciuman dan pelukan hangat. Tampak bedanya ya. Yang satu lebih pada pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kesenangan yang kasat mata, sementara yang satunya lagi lebih pada pemenuhan kebutuhan emosional yang tidak kasat mata. Hmmm..dari kedua bentuk ekspresi kasih sayang yang berbeda itu, kira-kira mana yang lebih baik?
Keduanya sama-sama baik asal diberikan dalam porsi yang sewajarnya. Ya, sewajarnya. Tak perlu memberikan bentuk materi yang kelewat mewah sebagai apresiasi terhadap hasil belajar anak yang bagus, atau memberikan pujian bertubi-tubi dan membanggakan prestasi anak kemana-mana hanya demi menunjukkan kalau kita sebagai orangtua begitu bangga memiliki anak sepertinya. Bukankah fungsi reward sejatinya adalah sebagai penguat perilaku positif (positive reinforcement)? Karena diberikannya hadiah atau pujian itu senantiasa diiringi harapan agar anak dapat mempertahankan prestasi atau perilaku baiknya. Syukur-syukur meningkatkannya.
Kalau reward yang diberikan itu melebihi ukuran yang sewajarnya atau kurang proporsional, adakah dampaknya bagi psikologis anak? Jawabannya; jelas ada. Pertama, tetap kita lihat sisi positifnya, yakni anak akan merasa lebih terpacu untuk meraih prestasi yang lebih baik, paling tidak mempertahankannya. Anak akan berusaha agar “tetap di jalur”, demi mengingat jasa orangtua yang telah memberikannya hadiah yang diinginkan. Anak akan berusaha agar tidak mengecewakan orangtua. Nah, negatifnya, dikhawatirkan rasa “takut mengecewakan orangtua” ini akan membebani anak dalam perjalanan hidupnya ke depan. Atau dari sisi lain, anak tanpa sadar akan kurang menghargai hal-hal sederhana, reward-reward sederhana, karena telah mendapatkan sesuatu yang jauh melampaui keinginannya. Iya kalau hidupnya sejahtera selamanya. Bagaimana kalau tidak?
Ini saya contohkan saja. Jika seandainya Anda sebagai orangtua telah membelikan anak tercinta sebuah gadget canggih dan mahal sebagai hadiah atas prestasi sekolahnya yang juara, lalu pada semester berikutnya anak malah menunjukkan penurunan prestasi karena keasyikan mengutak atik gadgetnya tersebut sehingga tak fokus belajar, bisa dipastikan Anda akan kesal dan marah. Lalu sadar tak sadar Anda pun mengungkit-ungkit hadiah mahal yang telah diberikan. Mulai “menyadarkan” anak tentang betapa Anda telah bersusah payah bekerja mengumpulkan uang demi memenuhi keinginan anak Anda.
Sampai di sini, bisa dikatakan kalau Anda telah berhasil menumbuhkan rasa bersalah yang tidak sehat pada anak. Memang mungkin anak telah menyesal karena telah mengecewakan Anda, tapi ia akan lebih terluka karena Anda menunjukkan secara terang benderang kalau Anda menghargai dan mencintainya hanya sebatas materi, hanya sebatas gadget. Cinta yang bersyarat. Maka jangan heran bila kemudian anak Anda pun akan menerapkan bentuk cinta yang sama pada orangtuanya; mencintai Anda hanya sebatas pemenuhan materi. Mencintai Anda sepanjang Anda dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pasti anda tak ingin menjadi orangtua yang demikian, bukan?
Pada intinya adalah bukan pada bentuk reward berupa materi itu sendiri. Boleh Anda memberikan hadiah materi apa saja, asal masih dalam tahap wajar, tepat momen dan sesuai kebutuhan anak, namun jangan lupa untuk menghargai anak secara emosional. Bagaimanapun, memberi reward berupa ekspresi-ekspresi emosi yang positif akan lebih baik dan sejati daripada bentuk materi apapun. Dari ekspresi emosi positif itulah terjalin keakraban dan kehangatan hubungan yang sejati antara orangtua dengan anak. Anda hanya perlu tersenyum, memujinya sewajarnya dan memeluknya hangat sambil berkata, “Terima kasih, sayang, kamu sudah membuat Mama bangga sekali atas prestasimu” atau “Apapun jadinya kamu, anakku, Papa akan selalu menyayangimu.”
Pujian pun diberikan secara proporsional saja. Tak perlu sering-sering memuji dan memamerkan kelebihannya di hadapan orang lain. Bisa-bisa anak jadi terbuai lalu merasa sudah puas dengan pencapaian yang diraih. Apalagi jika sampai merasa sombong. Orangtua perlu mengajarkan anak bahwa pujian berfungsi sebagai pelecut prestasi dan sebagai bentuk penghargaan atas prestasinya tersebut. Ini agar anak tidak mudah lengah oleh pujian-pujian yang diterimanya dari siapapun.
Selain itu, perlu ditekankan bahwa sesungguhnya melakukan sesuatu yang positif tanpa berharap adanya hadiah materi atau pujian, niscaya akan lebih sejati dan dapat membentuk karakter anak yang mau melakukan segala sesuatu (yang positif) tanpa pamrih. Jadi, apapun bentuk reward-nya, cukup berikan secara proporsional, tepat momen, sesuai kebutuhan anak dan tulus dari hati.
Ehem. Sesungguhnya bukan itu intinya. Terserah pengacara itu mau menghadiahi apa untuk putrinya tercinta. Tokh, itu pakai uangnya sendiri bukan? Tapi di dalam hati, saya miris juga. Hadiah se-luar biasa mewah itu dipamerkan lewat media. Untuk apa? Rasanya tidak pas untuk kondisi sebagian besar masyarakat Indonesia yang tak termasuk kaum jet set ini.
Memang setiap orangtua berhak membahagiakan anaknya dengan cara apapun, termasuk dengan memberi hadiah. Selain sebagai bentuk ekspresi kasih sayang orangtua kepada anaknya, sebuah hadiah juga dimaksudkan sebagai penghargaan atas prestasi atau perilaku positif yang ditunjukkan anak. Hadiah (reward) itu bisa dengan pemberian materi dengan segala bentuknya atau cukup dengan kasih sayang tulus yang ditunjukkan lewat seulas senyum, kata-kata pujian, ciuman dan pelukan hangat. Tampak bedanya ya. Yang satu lebih pada pemenuhan kebutuhan lahiriah dan kesenangan yang kasat mata, sementara yang satunya lagi lebih pada pemenuhan kebutuhan emosional yang tidak kasat mata. Hmmm..dari kedua bentuk ekspresi kasih sayang yang berbeda itu, kira-kira mana yang lebih baik?
Keduanya sama-sama baik asal diberikan dalam porsi yang sewajarnya. Ya, sewajarnya. Tak perlu memberikan bentuk materi yang kelewat mewah sebagai apresiasi terhadap hasil belajar anak yang bagus, atau memberikan pujian bertubi-tubi dan membanggakan prestasi anak kemana-mana hanya demi menunjukkan kalau kita sebagai orangtua begitu bangga memiliki anak sepertinya. Bukankah fungsi reward sejatinya adalah sebagai penguat perilaku positif (positive reinforcement)? Karena diberikannya hadiah atau pujian itu senantiasa diiringi harapan agar anak dapat mempertahankan prestasi atau perilaku baiknya. Syukur-syukur meningkatkannya.
Kalau reward yang diberikan itu melebihi ukuran yang sewajarnya atau kurang proporsional, adakah dampaknya bagi psikologis anak? Jawabannya; jelas ada. Pertama, tetap kita lihat sisi positifnya, yakni anak akan merasa lebih terpacu untuk meraih prestasi yang lebih baik, paling tidak mempertahankannya. Anak akan berusaha agar “tetap di jalur”, demi mengingat jasa orangtua yang telah memberikannya hadiah yang diinginkan. Anak akan berusaha agar tidak mengecewakan orangtua. Nah, negatifnya, dikhawatirkan rasa “takut mengecewakan orangtua” ini akan membebani anak dalam perjalanan hidupnya ke depan. Atau dari sisi lain, anak tanpa sadar akan kurang menghargai hal-hal sederhana, reward-reward sederhana, karena telah mendapatkan sesuatu yang jauh melampaui keinginannya. Iya kalau hidupnya sejahtera selamanya. Bagaimana kalau tidak?
Ini saya contohkan saja. Jika seandainya Anda sebagai orangtua telah membelikan anak tercinta sebuah gadget canggih dan mahal sebagai hadiah atas prestasi sekolahnya yang juara, lalu pada semester berikutnya anak malah menunjukkan penurunan prestasi karena keasyikan mengutak atik gadgetnya tersebut sehingga tak fokus belajar, bisa dipastikan Anda akan kesal dan marah. Lalu sadar tak sadar Anda pun mengungkit-ungkit hadiah mahal yang telah diberikan. Mulai “menyadarkan” anak tentang betapa Anda telah bersusah payah bekerja mengumpulkan uang demi memenuhi keinginan anak Anda.
Sampai di sini, bisa dikatakan kalau Anda telah berhasil menumbuhkan rasa bersalah yang tidak sehat pada anak. Memang mungkin anak telah menyesal karena telah mengecewakan Anda, tapi ia akan lebih terluka karena Anda menunjukkan secara terang benderang kalau Anda menghargai dan mencintainya hanya sebatas materi, hanya sebatas gadget. Cinta yang bersyarat. Maka jangan heran bila kemudian anak Anda pun akan menerapkan bentuk cinta yang sama pada orangtuanya; mencintai Anda hanya sebatas pemenuhan materi. Mencintai Anda sepanjang Anda dapat memenuhi kebutuhan dan keinginannya. Pasti anda tak ingin menjadi orangtua yang demikian, bukan?
Pada intinya adalah bukan pada bentuk reward berupa materi itu sendiri. Boleh Anda memberikan hadiah materi apa saja, asal masih dalam tahap wajar, tepat momen dan sesuai kebutuhan anak, namun jangan lupa untuk menghargai anak secara emosional. Bagaimanapun, memberi reward berupa ekspresi-ekspresi emosi yang positif akan lebih baik dan sejati daripada bentuk materi apapun. Dari ekspresi emosi positif itulah terjalin keakraban dan kehangatan hubungan yang sejati antara orangtua dengan anak. Anda hanya perlu tersenyum, memujinya sewajarnya dan memeluknya hangat sambil berkata, “Terima kasih, sayang, kamu sudah membuat Mama bangga sekali atas prestasimu” atau “Apapun jadinya kamu, anakku, Papa akan selalu menyayangimu.”
Pujian pun diberikan secara proporsional saja. Tak perlu sering-sering memuji dan memamerkan kelebihannya di hadapan orang lain. Bisa-bisa anak jadi terbuai lalu merasa sudah puas dengan pencapaian yang diraih. Apalagi jika sampai merasa sombong. Orangtua perlu mengajarkan anak bahwa pujian berfungsi sebagai pelecut prestasi dan sebagai bentuk penghargaan atas prestasinya tersebut. Ini agar anak tidak mudah lengah oleh pujian-pujian yang diterimanya dari siapapun.
Selain itu, perlu ditekankan bahwa sesungguhnya melakukan sesuatu yang positif tanpa berharap adanya hadiah materi atau pujian, niscaya akan lebih sejati dan dapat membentuk karakter anak yang mau melakukan segala sesuatu (yang positif) tanpa pamrih. Jadi, apapun bentuk reward-nya, cukup berikan secara proporsional, tepat momen, sesuai kebutuhan anak dan tulus dari hati.
No comments:
Post a Comment
Wellcom To My Blog