Tahukah Anda , bila utang pajak tidak dibayar-bayar, akan ada tindakan dari pihak otoritas pajak untuk menagihnya. Jika dipersepsi secara positif, terbitnya surat yang bernama Surat Tagihan Pajak (STP) merupakan suatu bentuk perhatian lebih dari pihak otoritas kepada Wajib Pajak. Benarkah demikian...?
Kreasi Me - Bila di telaah lebih lanjut, banyak alasan mengapa pihak otoritas menerbitkan surat tagihan ini. Walau secara penyebutan mudah dihafal, tapi tidak banyak orang yang tahu mengapa surat dari pihak otoritas pajak ini diterbitkan. Sampai dengan saat ini, masih saja ada wajib pajak yang tidak mengetahui mekanisme yang harus dilakukan ketika menerima SPT dari pihak otoritas pajak. Lebih ironisnya lagi, STP tersebut terbit hanya gara-gara masalah sepele, yaitu lantaran ada utang pajak yang tidak dilunasi. Kasusu ini pun dialami oleh Pak Rudi (bukan nama sebenarnya), yang kebetulan baru memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) enam bulan yang lalu.
Pak Rudi adalah seorang karyawan swasta yang juga berwirausaha menjual baju secara grosir maupun eceran yang dilakukan disebuah kios di Pasar Tanah Abang. Usaha yang dijalankan sejak enam bulan lalu ini, talah mencapai omzet yang terbilang cukup besar. Bahkan, dalam satu bulan, Pak Rudi bisa meraup keuntungan yang lebih besar dibandingkan dengan penghasilan yang diperoleh dari pekerjaannya.
Namun demikian, saat ini Pak Rudi sedang kebingungan. Pasalnya, beberapa hari yang lalu, ia menerima STP dari Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang kewenangannya mencakup tempatnya menjalankan usaha tersebut. Isinya menjelaskan bahwa Pak Rudi berkewajiban untuk melakukan penyetoran dan pelaporan Surat Pemberitahuan (SPT) Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25, sehubungan dengan usaha yang dijalankannya itu. Merasa awam dengan STP tersebut, Pak Rudi lantas mendatangi Konsultan Pajak yang dipercayainya untuk mendapatkan penjelasan.
Kejadian seperti ini, bisa jadi pernah dialami oleh Wajib Pajak Baru yanga lain. Atau mungkin juga dialami oleh Anda. Bagi sebagian orang yang awam dengan ketentuan perpajakan, pertanyaan mengenai apa sebetulnya yang dimaksud dengan STP, mengapa ada STP, atau pertanyaan-pertanyaan lain seputar STP, mungkin kerap kali muncul di benak anda.
Dasar Penagihan.
Secara gramatikal,pengertian STP sebetulnya dapat dipahami dengan mudah. Dari kepanjangan katanya saja, dapat diartikan bahwa STP adalah surat untuk menagih pajak. Namun demikian, dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya, STP tidak serta merta dapat diartikan semudah itu. Alasannya, setiap tindakan penagihan mempunyai patokan-patokan tertentu yang sudah digariskan dalam peraturan perundang-undangan perpajakan.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1 angka 20 Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana telah diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d) UU Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), STP didefinisikan sebagai surat untuk melakukan penagihan pajak dan atau sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda. Dari pengertian ini, dapat diketahui bahwa STP tidak hanya digunakan untuk menagih pajak saja, tetapi untuk menagih sanksi administrasi berupa bunga dan atau denda yang terkait dengan kewajiban perpajakan. Dengan kata lain, STP merupakan sarana bagi pihak otoritas untuk melakukan penagihan, seperti yang diatur dalam Pasal 18 UU KUP.
Melihat ketentuan Pasal 18 UU KUP tersebut, selain STP, masih ada surat keterangan lain seperti surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), serta surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKB), dan Surak Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali, yang mempunyai karakteristik sama, yaitu menyebabkan jumlah pajak yang masih harus dibayar bertambah. Menurut pasal ini, STP merupakan dasar penagihan pajak.
Sebab Terbitnya STP
Meskipun STP merupakan sarana yang digunakan pihak otoritas pajak untuk menagih utang pajak, tetepi pihaknya tidak serta merta menerbitkan STP secara sembarangan. Ada hal-hal yang di jadikan dasar untuk menerbitkan surat tagihan ini. Berdasarkan pada ketentuan Pasal 2 ayat (1) Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 189/PMK.30/2007 tentang Tata Cara Penerbitan Surat Tagihan Pajak s.t.d.t.d. PMK Nomor 84/PMK.03/2010, STP diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak.
Ruang lingkup penelitian yang dimaksutkan disini adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan untuk menilai kelengkapan pengisian SPT dan lampiran-lampirannya, termasuk penelitian tentang kebenaran penulisan dan penghitungannya. Artinya, penelitian ini dilakukan oleh fiskus terbatas pada data yang telah disampaikan oleh Wajib Pajak saja. Atas penelitian ini, fiskus tidak perlu melakukan konfirmasi kepada Wajib Pajak yang bersangkutan.
Berbeda dari penelitian, pemeriksaan yang dilakukan otoritas pajak didahului dengan memberikan konfirmasi kepada Wajib Pajak, yakni dengan menyampaikan Surat Perintah Pemeriksaan Pajak (SP3). Kegiatan pemeriksaan ini dilakukan dalam rangka menguji keputusan Wajib Pajak, sehingga diketahui apakah Wajib Pajak telah membayar pajak dengan benar atau tidak. Kegiatannya dilakukan dengan cara menghimpun dan mengolah data keterangan, dan atau bukti yang dilaksanakan secara objektif dan profesional berdasarkan suatu standar pemeriksaan untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan atau untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
Secara khusus, sebab terbitnya STP telah di atur Pasal 14 ayat (1) UU KUP jo. Pasal 1 PMK Nomor.84/PMK.03/2010. Dalam ketentuan itu, setidaknya terdapat beberapa alasan yang dapat digunakan oleh pihak otoritas pajak untuk menerbitkan STP. Seperti, PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar, dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung, dan lain-lain.(lihat box 1)
Jangka waktu Penerbitan
Setelah mengetahui sebab musababnya diterbitkannya STP, lantas kapan STP itu akan di terbitkan?. Merujuk kembali pada Pasal 2 ayat (1) PMK Nomor. 189/PMK.03/2010, STP akan diterbitkan jika pihak otoritas pajak telah melakukan penelitian atas data yang diberikan oleh pihak Wajib Pajak yang bersangkutan. Atau bisa juga dilakukan berdasarkan hasil pemeriksaan. Berikut kutipan aturannya, "Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksut dalam Pasal 1 diterbitkan setelah dilakukan penelitian administrasi perpajakan atau berdasarkan hasil pemeriksaan pajak."
Ternyata, dalam peraturan ini juga di atur secara khusus mengenai kapan pihak otoritas akan menerbitkan STP yang disebabkan oleh adanya PPh yang tidak atau kurang dibayar pada tahun berjalan. Menurut Pasal 2 ayat (2) PMK diatas, penerbitannya dilakukan setelah lewat satu bulan sejak masa pajak yang bersangkutan. Hal ini diatur dengan tujuan untuk memberikan kepastian hukum. Pasalnya, pelaksanaan pembayaran dan pelaporan PPh dalam tahun berjalan dilakukan setiap masa pajak. Contohnya, PPh Pasal 25 yang dibayar sendiri oleh wajib pajak atau PPh yang dipotong oleh pihak ketiga sebagai pemberi penghasilan, yang biasanya dikenal dengan withholding tax.
Berkenaan dengan hal ini, setiap STP tersebut diterbitkan untuk suatu masa pajak atau bagian tahun pajak. Hal ini disesuaikan dengan masa pajak yang tercakup dalam SPT masa PPh dan SPT Tahunan PPh. STP tersebut diterbitkan berdasarkan atas pembuatan nota penghitungan. Dimana, satu nota penghitungan dibuat untuk satu STP. Kecuali, untuk STP yang semata-mata diterbitkan untuk menagih sanksi administrasi yang tidak terdapat pokok pajaknya, dapat diterbitkan satu STP yang meliputi beberapa masa pajak, sepanjang masa pajak tersebut tidak melompat. Maksutnya, tidak ada jeda waktu antara masa pajak yang akan diterbitkan STP.
Sebagai contoh, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh pihak otoritas, Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi karena telat melaporkan STP PPh Pasal 25 untuk Masa Pajak Januari, Februari, Maret, dan April 2008. Dengan demikian, nota penghitungan dan STP yang diterbitkan boleh dibuat hanya satu saja, yaitu untuk Masa Pajak Januari s.d Aprik 2008. Namun, apabila sanksi tersebut hanya dikenakan untuk Masa Pajak Januari dan Maret saja, maka nota penghitungan dan STP-nya harus dibuat secara terpisaj untuk masing-masing masa pajak tersebut.
Box 1:
Alasan Terbitnya STP
Menurut ketentuan Pasal 4 ayat (1) UU KUP, Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak dapat menerbitkan STP apabila:
a. PPh dalam tahun berjalan tidak atau kurang dibayar;
b. Dari hasil penelitian terdapat kekurangan pembayaran pajak sebagai akibat salah tulis dan atau salah hitung;
c. Wajib Pajak dikenai sanksi administrasi berupa denda dan atau bunga;
d. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai Pengusaha Kena Pajak (PKP), tetapi tidak membuat Faktur Pajak atau membuat Faktur Pajak, tetapi tidak tepat waktu;
e. Pengusaha yang telah dikukuhkan sebagai PKP yang tidak mengisi Faktur Pajak secara lengkap sebagaimana dimaksut dalam Pasal 13 ayat (5) UU Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 1984 dan perubahannya selain;
1. Identitas pembeli sebagaimana dimaksut dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b UU PPN Tahun 1984 dan perubahannya;
2. Identitas pembeli serta nama dan tanda tangan sebagaimana dimaksut dalam Pasal 13 ayat (5) huruf b dan huruf g UU PPN Tahun 1984 dan perubahannya, dalam hal penyerahannya dilakukan oleh PKP pedagang eceran;
f. PKP melaporkan Faktur Pajak tidak sesuai dengan masa penerbitan Faktur Pajak; atau
g. PKP yang gagal berproduksi dan telah diberikan pengembalian Pajak Masukan sebagaimana dimaksut dalam Pasal 9 ayat (6a) UU PPN Tahun 1984 dan perubahannya.
Tengat Pelunasan
Dalam hal penerimaan STP, maka Wajib Pajak dianggap memiliki utang pajak yang harus segera dilunasi sesuai dengan jatuh tempo pembayarannya. Dengan demikian, Wajib Pajak yang bersangkutan berkewajiban untuk membayar utang pajak yang tercantum dalam STP tersebut. Pelunasannya harus dilakukan paling lama satu bulan sejak tanggal penerbitan STP. Dengan kata lain, apabila Wajib Pajak menerima STP tertanggal 10 Mei 2011, maka jatuh tempo pembayaran STP adalah 9 Juni 2011.
Jangka waktu satu bulan ini, tidak berlaku bagi Wajib Pajak usaha kecil dan Wajib Pajak yang berada didaerah tertentu. Pasalnya, khusus untuk kedua Wajib Pajak ini, pihak otoritas memberikan waktu yang lebih lama dibandingkan dengan Wajib Pajak pada umumnya. Jangka waktu pelunasan pajak bagi kedua kriteria Wajib Pajak tersebut dapat diperpanjang menjadi dua bulan sejak tanggal penerbitan STP, seperti disebutkan dalam Pasal 1 ayat (2) PMK Nomor. 187/PMK.03/2007 tentang Jangka Waktu Pelunasan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Kurang Bayar, dan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, serta Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, dan Putusan Peninjauan Kembali, yang Menyebabkan Jumlah Pajak yang Harus Dibayar Bertambah bagi Wajib Pajak Usaha Kecil dan Wajib Pajak di Daerah Tertentu.
Meskipun demikian, jangka waktu pelunasan pajak ini bukanlah harga mati. Ada sedikit perlakuan berbeda, khususnya bagi Wajib Pajak dengan kondisi tertentu. Sejatinya, jumlah hutang pajak yang tercantum dalam STP harus dibayar sekaligus oleh Wajib Pajak. Namun dalam praktiknya, Wajib Pajak seringkali dihadapkan pada keaadaan yang tidak memungkinkan untuk membayar tagihan secara sekaligus.
Kondisi ini bisa terjadi jika dihadapkan pada kondisi cash flow perusahaan yang tidak memungkinkan atau Wajib Pajak sedang mengalami keadaa diluar kekuasaannya (force majeur). Wajib Pajak tersebut sangat dimungkinkan untuk menunda atau mengangsur utang pajaknya. Hal ini tentu dapat menjadi solusi bagi Wajib Pajak yang tidak dapat membayar jumlah pajak dan atau sanksi administrasi yang ditagih melalui STP.
Tata cara penundaan atau pengangsuran pajak tersebut dilakukan oleh Wajib Pajak dengan membuat surat permohonan secara tertulis. Surat permohonan itu harus diajukan dengan menggunakan formulir yang ada dalam lampiran I Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-38/PJ./2008 tentang Tata Cara Pemberian Angsuran atau Penundaan Pembayaran Pajak. Permohonan ini wajib disampaikan paling lama sembilan hari kerja sebelum jatuh tempo pembayaran.
Untuk mengajukan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak, Wajib Pajak harus menyertakan alasan yang jelas dilengkapi dengan bukti-buktinya.Bila ternyata Wajib Pajak bermaksut untuk mengangsur, maka bukti yang harus dilampirkan adalah jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk diangsur, masa angsuran, serta besaran angsuran. Sementara itu, apabila ternyata Wajib Pajak bermaksud untuk menunda pembayaran, maka bukti yang perlu dilampirkan adalah jumlah pembayaran pajak yang dimohon untuk ditunda dan jangka waktu penundaan yang diinginkan.
PER-38/PJ./2008 juga mengatur tentang syarat pengajuan permohonan penundaan atau pengangsuran pembayaran pajak. Dalam Pasal 3 produk hukum tersebut, dinyatakan bahwa Wajib Pajak yang mengajukan permohonan karena memang mengalami kesulitan likuiditas harus memberikan jaminan yang besarnya ditetapkan berdasarkan pertimbangan Kepala KPP, kecuali bila pejabat tersebut menganggapnya tidak perlu. Jaminan ini bisa berupa garansi Bank, surat atau dokumen kepemilikan barang bergerak, penanggungan utang oleh pihak ketiga, dan sertifikat tanah atau sertifikat deposito.
Mempunyai Kekuatan Hukum
Dalam ranah perpajakan, STP merupakan surat yang kekuatan hukumnya sama dengan jenis surat ketetapan pajak lainnya, seperti SKPKB, SKPKBT, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Maksutnya, jika Wajib Pajak tidak melakukan pembayaran pajak yang ditagih melalui STP yang telah diterbitka, maka akan diterbitkan Surat Teguran. Dengan demikian, dalam melakukan penagihannya nanti dapat dilakukan dengan Surat Paksa, seperti yang diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) UU KUP.
Meskipun STP memiliki kekuatan hukum yang sama dengan surat ketetapan pajak, namun dalam tata cara penerbitannya memiliki perbedaan yang cukup mendasar. Surat ketetapan pajak biasanya hanya dapat diterbitkan atas dasar hasil pemeriksaan. Sedangkan STP dapat diterbitkan bukan hanya berdasarkan hasil pemeriksaan saja, tetapi berdasarkan hasil penelitian. Khususnya, STP yang diterbitkan pada saat Wajib Pajak tidak juga melunasi pajak yang masih harus dibayar dalam surat ketetapan, sampai dengan batas waktunya berakhir, yaitu satu bulan sejak terbitnya surat ketetapan dimaksud.
Atas kelalaian ini, Wajib Pajak akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% per bulan untuk seluruh masa. Penghitungannya dilakukan sejak tanggal jatuh tempo sampai dengan tanggal pelunasan atau tanggal diterbitkannya STP. Tidak mengherankan jika STP ini dikenal dengan nama STP Bunga/Denda Penagihan.Sebab lain diterbitkannya STP Bunga/Denda Penagihan ini adalah ketika Wajib Pajak yang diperbolehkan melakukan penundaan atau pengangsuran utang pajak, tetapi membayar tidak sesuai dengan tanggal jatuh temponya. Sama halnya dengan sebab pertama, sebab kedua diterbitkannya STP ini pun dikenakan sanksi administrasi berupa bunga.
Contohnya, Wajib Pajak menerima SKPKB sebesar Rp. 1.120.000,00 yang diterbitkan pada 2 Januari 2009, dengan batas akhir pelunasan pada 1 Februari 2009. Wajib Pajak tersebut diperbolehkan untuk menunda pembayaran pajak sampai dengan 30 Juni 2009. Jadi, penghitungan sanksi administrasi bunga atas penundaan pembayaran SKPKB tersebut adalah sebesar 5x2%xRp.1.120.000,00.
Selain kedua hal diatas, STP bunga/denda Penagihan juga dapat diterbitkan dalam hal Wajib Pajak mengajukan keberatan, tetapi ditolak atau dikabulkan sebagian. Keberatan Wajib Pajak yang ditolak atau dikabulkan sebagian ini menyebabkan adanya sanksi administrasi berupa denda sebesar 50%. Sanksi ini dihitung dari jumlah pajak berdasarkan keputusan keberatan dikurangi dengan pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan. Nilai inilah yang nantinya akan muncul dalam STP dimaksud.
Terakhir, STP Bung/Denda Penagihan ini juga digunakan oleh pihak otoritas untuk melakukan penagihan pajak dalam hal Wajib Pajak mengajukan banding, tetepi ditolak atau dikabulkan sebagian. Sanksi yang akan ditagihkan dalam STP ini adalah sebesar 100%, yang dihitung dari jumlah pajak berdasarkan putusan banding dikurangi dengan pembayaran pajak yang telah dibayar sebelum mengajukan keberatan.
Masa Daluwarsa
Dalam peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku di Indonesia, selalu diatur mengenai jangka waktu penerbitan dan pelunasan Pajak. Selain itu, diatur juga mengenai masa daluwarsanya. Begitu juga dalam hal penagihan hutang pajak melalui STP ini. Lagi-lagi, hal ini dilakukan untuk memberikan kepastian hukum kepada Wajib Pajak. Berdasarkan Pasal 22 ayat (1) UU KUP, masa daluwarsa STP ini ditetapkan selama lima tahun, yang dihitung sejak STP diterbitkan. Oleh karenanya, apabila masa daluwarsa ini telah terlewati, pihak otoritas tidak dapat lagi melakukan penagihan pajak.
Namun demikian, jangka waktu lima tahun sebagaimana dimaksut dalam ketentuan tersebut dapat ditangguhkan apabila diterbitkan Surat Paksa. Selain itu, penangguhan ini dapat terjadi lantaran ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik secara langsung maupun tidak langsung dalam hal diterbitkan SKPKB/SKPKBT atau dapat juga terjadi karena dilakukan penyidikan tindakan pidana dibidang perpajakan. Secara detail, alasan mengapa daluwarsa penagihan pajak bisa melampaui lima tahun, dapat dirinci sebagai berikut:
a. Dirjen Pajak menerbitkan dan memberitahukan Surat Paksa kepada Penanggung Pajak yang tidak melakukan pembayaran utang pajak sampai dengan tanggal jatuh tempo pembayaran. Dalam hal ini, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal pemberithuan Surat Paksa tersebut.
b. Wajib Pajak menyatakan pengakuan utang pajak dengan cara mengajukan permohonan angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak sebelum tanggal jatuh tempo pembayaran. Dan disini, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal surat permohonan surat angsuran atau penundaan pembayaran utang pajak diterima oleh Dirjen Pajak.
c. Terdapat SKPKB atau SKPKBT yang diterbitkan karena Wajib Pajak melakukan tindak pidana dibidang perpajakan dan tindak pidana lain yang dapat merugikan pendapatan negara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Dalam hal ini, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan surat ketetapan pajak tersebut.
d. Terhadap Wajib Pajak dilakukan penyidikan tindak pidana dibidang perpajakan, daluwarsa penagihan pajak dihitung sejak tanggal penerbitan Surat Perintah Penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
Bentuk dan Isi
Sebagai Wajib Pajak, anda memang tidak perlu mengetahui secara detail bagaimana tata cara pengisian STP. Meskipun STP ini diterbitkan oleh pihak otoritas, namun penting kiranya bagi Anda mengetahui bagaimana bentuk dan isi dari STP tersebut. Sebagai informasi, penggunaan formulir STP ini telah diatur dalam PER-25/PJ./2008 tentang bentuk dan isi Nota Penghitungan, Surat Ketetapan Pajak, dan Surat Tagihan Pajak s.t.d.t.d.PER-21/PJ./2010.
Dalam Dirjen ini, terdapat lima jenis formulir STP yang dapat digunakan oleh fiskus untuk menagih pajak atau sanksi administrasi pajak. Masing-masing formulir tersebut berfungsi untuk menagih pajak yang berbeda-beda. Adapun jenis formulir STP tersebut adalah STP PPh Badan/Orang Pribadi (F.51.23), STP PPh Pemotongan/Pemungutan (F.5.1.23), STP PPN (F.5.2.23), STP Penjualan Barang Mewah/PPh BM (F.5.2.23) dan masing-masing lampirannya, serta formulirnya STP Bunga/Denda Penagihan (F.5.0.23).
STP ini dibuat rangkap lima, dengan menggunakan kertas berukuran folio. Lembar pertama, diberikan untuk Wajib Pajak yang bersangkutan. Lembar kedua, diberikan untuk Seksi Penagihan. Lembar ketiga, diberikan untuk Seksi Pengawasan dan Konsultasi. Lembar keempat, diberikan untuk Seksi Pelayanan/Seksi TUP. Sedangkan lembar kelima, diberikan untuk Seksi/Unit pembuat nota penghitungan.
Mengenai isi STP, dapat dibagi menjadi dua bagian. Bagian pertama berisi tentang data/identitas, seperti nama KPP yang menerbitkan STP tersebut, nomor ketetapan, tahun pajak, tanggal penerbitan, dan tanggal jatuh tempo. Selain itu, juga berisi identitas Wajib Pajak seperti nama Wajib Pajak dan NPWP.
Untuk bagian kedua, berisi tentang pengisian jumlah rupiah. Jumalah ini sama dengan jumlah dalam nota penghitungan pajak. Terdiri dari jumlah angsuran atau pokok pajak yang harus dibayar, jumlah angsuran/pokok pajak yang telah dibayar dan nilai yang kurang dibayar. Selain itu, juga terdapat nilai sanksi administrasi pajak, jumlah yang harus masih dibayar, serta nilai terbilang. Untuk lebih jelasnya berikut contoh-contoh beberapa bentuk STP.
sumber: tabloid ITR
No comments:
Post a Comment
Wellcom To My Blog