Dengan kata lain, bila Faktur Pajak yang diterbitkan bermasalah, maka akan terjadi kesalahan dalam penghitungan, pelaporan dan penyetoran PPN yang terutang.
Pangkal masalah dari adanya kontroversi penerbitan Faktur Pajak sebenarnya bisa dirunut dengan mudah. Para pihak yang mengikat perjanjian transaksi, memang mempunyai sudut pandang yang berbeda terkait penerbitan Faktur Pajak ini. Sebagai informasi, kedua belah pihak yang mengikat perjanjian bila dikaitkan dengan hak dan kewajiban perpajakan mempunyai perbedaan fungsi peran. Bisa diibaratkan fungsi Pengusaha Kena Pajak (PKP) penjual atau pemberi jasa dengan PKP pembeli atau penerima jasa seperti membandingkan antara dua kutub yang berbeda.
Sebagai PKP, penjual atau pemberi jasa dilekati kewajiban mutlak untuk memungut PPN dan menerbitkan Faktur Pajak. Sementara pembeli atau penerima jasa menjadi pihak yang wajib menanggung beban atas PPN yang terutang atas transaksi penyerahan barang atau jasa. Pada akhir masa pajak, pihak-pihak yang mengikat perjanjian ini, khususnya mereka yang sudah dikukuhkan sebagai PKP, wajib untuk melaporkan PPN tersebut melalui Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPN.
Penjual atau pemberi jasa wajib melaporkan pajak yang sudah dipungut (Pajak Keluaran) dari pembeli atau penerima jasa dengan melaporkannya diformulir 1111 A2. Pajak keluaran yang dipungut ini akan menambah besaran PPN terutang yang wajib untuk disetorkan ke kas negara.
Sementara PKP pembeli atau penerima jasa akan melaporkan pajak yang dipungut oleh PKP penjual atau penerima jasa (Pajak Masukan) dalam formulir 1111 B2. Pajak masukan ini akan menjadi pengurang pajak yang harus disetor kekas negara melalui mekanisme Pajak Keluaran dikurangi dengan Pajak Masukan (credit method).
KESALAHAN DAN SANKSI PAJAK
Adanya kesalahan dalam pelaksanaan hak dan kewajiban dalam pemungutan PPN tentunya berkolerasi secara positif dengan pengenaan sanksi. Sebagai pungutan wajib yang dapat dipaksakan, pengenaan PPN yang diatur melalui Undan-Undang (UU) Nomor 8 tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah terakhir dengan (s.t.d.t.d) UU Nomor 42 tahun 2009 (UU PPN) memang mengatur mekanisme sanksi yang tegas. Tentunya pengenaan sanksi pajak ini bergantung dari kesalahan yang dilakukan.
Pada umumnyam, kesalahan utama dari pelaksanaan pemungutan PPN terjadi dalam penerbitan Faktur Pajaknya. Mengacu pada ketentuan pasal 13 ayat (5) UU PPN, Faktur Pajak mempunyai standart baku dalam penerbitannya. Bila ternyata informasi yang disebutkan dalam ketentuan tersebut tidak lengkap, maka Faktur Pajak yang diterbitkan oleh PKP penjual adalah cacat.
Bagi penjual atau pemberi jasa, adanya Faktur Pajak yang informasinya tidak lengkap atau cacat itu mempunyai konsekuensi berupa sanksi. Menurut ketentuan Pasal 14 ayat (1) huruf e jo. Pasal 14 ayat (4) UU Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan umum dan Tata Cara Perpajakan s.t.d.t.d. UU Nomor 16 Tahun 2009 (UU KUP), disebutkan bahwa Faktur Pajak yang tidak lengkap (kecuali informasi yang memang diatur tersendiri), akan dikenai sanksi berupa denda sebesar 2% dari dasar pengenaan pajak (DPP).
Adanya penerbitan Faktur Pajak yang tidak sesuai ketentuan, tentunya akan berpengaruh terhadap pemenuhan hak pengkreditan Pajak Masukan PKP pembeli atau penerima jasa. Sanksi yang ditanggung PKP pembeli atau penerima jasa atas Faktur Pajak yang tidak sesuai ini lebih berat dari pada sanksi PKP penjual pemberi jasa. Mengacu pada ketentuan pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN secara tegas dinyatakan bahwa PKP pembeli atau penerima jasa tidak dapat mengkreditkan Pajak Masukan atas perolehan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak (JKP) yang faktur pajaknya tidak memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksut dalam pasal 13 ayat (5) atau atat (9) atau tidak mencantumkan nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP.
Adanya ketentuan yang disebutkan dalam pasal 9 ayat (8) huruf f UU PPN ini tentunya dapat menjadi momok bagi para PKP pembeli atau penerima jasa. Apalagi, bagi PKP pembeli atau penerima jasa memang diwajibkan untuk membayar pajak melalui PKP penjual atau pemberi jasa. Kemudian pajak yang sudah dipungut tersebut akan dikreditkan dengan PPN yang dipungut dari pihak lain dalam suatu masa pajak.
MENJAGA KEPENTINGAN
Adanya ketentuan pemungutan PPN melalui pihak penjual atau pemberi jasa ini pada akhirnya membuat kedua belah pihak yang mengikat perjanjian sangat rentan dengan potensi konflik. PKP penjual atau pemberi jasa disatu sisi memang diwajibkan untuk memungut PPN dan menerbitkan Faktur Pajak. Sementara disisi lain, agar PPN yang dipungut tersebut dapar menjadi kredit pajak, maka PKP pembeli atau penerima jasa berkepentingan untuk agar seluruh persyaratan terpenuhi.
Bisa dikatakan bahwa pemenuhan hak dan kewajiban dalam pemungutan PPN ini memang kental dengan nuansa menjaga kepentingan. Pasalnya, pengenaan sanksi yang lebih besar kepada PKP pembeli atau penerima jasa, kadangkala membuat penerbitan Faktur Pajak dengan mudah bisa ditolak dan diminta untuk dibuat kembali. Padahal bila diperhatikan, Faktur Pajak yang diterbitkan PKP penjual atau penerima jasa belum tentu salah, dan standart baku pembuatannya masih bisa dipertanggung jawabkan. Namun faktanya dalam praktik dilapangan, kondisi ini memang sering terjadi.
Gambaran kasus ini dapat dilihat dari kondisi beberapa waktu lalu, Faktur Pajak yang dikembalikan oleh PKP pembeli atau penerima jasa sangat marak terjadi dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah karena dalam masa peralihan-masa banyak PKP penjual atau pemberi jasa yang menerbitkan Faktur Pajak berformat lama, yaitu dengan format Faktur Pajak Standar.
Dasar penolakan yang diajukan pembeli sederhana saja, yaitu disesuaikan dengan perubahan ketentuan Faktur Pajak dalam UU PPN. Dalam UU Nomor 42 Tahun 2009, tidak lagi dikenal istilah Faktur Pajak Standar ataupun Faktur Pajak Sederhana. Dengan begitu, bila PKP penjual atau pemberi jasa masih saja menerbitkan Faktur Pajak berformat lama, maka bisa dianggap bahwa Faktur Pajak Standar yang diterbitkan adalah cacat. Padahal bila diperhatikan lebih lanjut, informasi yang harus ada dalam Faktur Pajak berformat lama ini tidak jauh berbeda dari ketentuan perubahan Pasal 13 ayat (5) UU PPN yang diundangkan tahun 2009. Bedanya hanya saja, jabatan orang yang menandatangani Faktur Pajak tidak lagi menjadi informasi wajib yang harus dicantumkan.
....Faktur Pajak lama masih dapat digunakan oleh PKP sampai habis dan tetap dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan, baik secara formal maupun material....
SELALU BUTUH PENEGASAN
Kondisi penolakan Faktur Pajak berformat lama oleh PKP pembeli atau penerima jasa ini berubah sejak pihak otoritas pajak menerbitkan Surat Edaran Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Nomor SE-56/PJ./2011 tentang Penjelasan Mengenai Penggunaan Faktur Pajak Lama. Dalam butir k-3 huruf a dan huruf b surat edaran tersebut ditegaskan bahwa, Faktur Pajak Lama masih dapat digunakan oleh PKP sampai habis dan tetap dianggap sah sepanjang memenuhi ketentuan, baik secara formal maupun material. Dengan demikian, atas Faktur Pajak tersebut tetap dapat dikreditkan oleh pembeli sepanjang memenuhi ketentuan sebagai Pajak Masukan yang dapat dikreditkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Adanya penegasan ini tentu menjadi oase bagi para PKP pembeli atau penerima jasa yang meragukan status hukum Faktur Pajak berformat lama tersebut. Disisi lain, bagi PKP penjual atau pemberi jasa, surat edaran tersebut dapat menjadi solusi atas konflik antara pihaknya denga pihak pembeli atau penerima jasa dalam penerbitan Faktur Pajak.
PKP penjual atau pemberi jasa tentunya tidak tinggal diam pada saat PKP pembeli atau penerima jasa secara serta merta menolak Faktur Pajak yang sudah diterbitkan dengan menggunakan Faktur Pajak berformat lama tersebut. Dasar hukum PKP penjual atau pemberi jasa dalam menerbitkan Faktur Pajak adalah kuat dan disesuaikan dengan kepentingannya. Ini bisa dilihat dalam ketentuan Pasal 3 Peraturan Dirjen Pajak Nomor PER-13/PJ./2010 s.t.d.t.d.PER-65/PJ./2010.
Dalam ketentuan tersebut secara tegas dinyatakan bahwa bentuk dan ukuran Faktur Pajak dapat disesuaikan dengan kepentingan PKP. Bahkan PKP dapat membuat Faktur Pajak sebagaimana contoh yang ada dalam lampiran PER-13/PJ./2010.s.t.d.t.d.PER-65/PJ./2010, atau bisa juga tidak mengikutinya. Dengan catatan, informasi yang dicantumkan dalam Faktur Pajak tidak kurang seperti yang disebut dalam pasal 13 ayat (5) UU PPN dan tata cara pembuatannya berpatokan pada ketentuan PER-13/PJ./2010s.t.d.t.d.PER-65/PJ./2010.Bila hal ini dikaitkan dengan penggunaan Faktur Pajak berformat lama, maka bisa dikatakan bahwa pencantuman kata "Standar" tidaklah salah. Sepanjang seluruh patokan dan standar baku penerbitannya diikuti, maka Faktur Pajak Standar ini tentunya tidak mengurangi hak PKP pembeli atau pemberi jasa dalam mengkreditkan Pajak Masukannya.
Hanya sanyangnya, konflik dalalam penerbitan Faktur Pajak ini akan selalu mereda setelah diterbitkan Surat Penegasan. Memang bila terjadi masalah dalam pelaksanaan kewajiban pemungutan PPN, Pihak Direktorat Jenderal (Dirjen) pajaklah yang menjadi jurinya. Namun, suka atau tidak, hal ini dapat menimbulkan ketidakpastian dalam pelaksanaan pemungutan PPN.
PENENTUAN DAN PENYERAHAN
Contoh lain adanya ketidalpastian terkait penerbitan Faktur Pajak yang akhirnya dapat menimbulkan konflik antara PKP dan pembeli atau penerima jasa dengan PKP penjual atau pemberi jasa adalah karena perbedaan persepsi terkait penentuan kapan saat terutangnya PPN. Hal ini penting karena kini saat terutangnya pajak (atau saat penyerahan dilakukan) seiring sejalan dengan kapan Faktur Pajak harus dibuat.
Sebagaimana telah diketahui, dalam ketentuan sebelumnya yaitu pasal 2 ayat (1) PER-159/PJ./2006, Faktur Pajak dapat diterbitkan paling lambat pada akhir bulan berikutnya setelah bulan terjadinya penyerahan BKP dan/atau JKP. Ketentuan ini berlaku dalam hal pembayaran diterima setelah akhir bulan berikutnya setelah bulah penyerahan BKP dan/atau JKP.
Mengacu pada ketentuan Pasal 13 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 143 Tahun 2000 s.t.d.t.d. PP Nomor 24 Tahun 2002, saat penyerahan ini bisa ditentukan berdasarkan karena beberapa kondisi. Khusus untuk terutangnya PPN atas penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat dan hukumnya berupa barang bergerak, terjadi pada saat BKP tersebut diserahkan secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat BKP tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan. Sementara, terutangnya PPN atas penyerahan JKP terjadi pada saat mulai tersedianya fasilitas atau kemudahan untuk dipakai secara nyata, baik sebagian atau seluruhnya.
Saat penyerahan yang diatur melalui klausul ketentuan diatas dalam ketentuan sebelum perubahan UU PPN di tahun 2009 tidak berpengaruh secara langsung dalam penerbitan Faktur Pajaknya. Bagaimana tidak, PKP penjual atau pemberi jasa mempunyai waktu hingga 60 hari untuk membuat Faktur Pajak untuk setiap penyerahan yang dilakukan.
Hal ini tentunya berbeda dari ketentuan saat ini yang tidak lagi mengatur penerbitan Faktur Pajak dalam jangka waktu paling lambat pada akhir bulan berikutnya. Khusus untuk penyerahan barang dan jasa dalam Pasal 13 ayat (1a) UU PPN disebutkan bahwa Faktur Pajak harus dibuat pada saat penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP.
Namun, ketentuan tentang kapan saat penyerahan ini tidaklah berubah. Hal ini pada prinsipnya pun tidak menjadi masalah signifikan. Dalam Pasal 18 ayat (1) huruf b UU PPN dengan tegas diataur bahwa, "Selama pertauran pelaksanaan Undang-Undang ini belum dikeluarkan, maka peraturan pelaksanaan yang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini yang belum dicabut dan diganti dinyatakan masih berlaku."
Dengan demikian, mengacu pada ketentuan diatas, maka saat penyerahan BKP dan/atau JKP ini pun masih merujuk pada ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000.s.t.d.t.d.PP Nomor 24 Tahun 2002.
TIDAK LEPAS DARI MASALAH
Adanya perbedaan tentang jangka waktu penerbitan Faktur Pajak antara ketentuan lama dan ketentuan baru ini tidak lepas dari masalah. Pada praktiknya, terjadi perbedaan persepsi, apakah saat penyerahan untuk barang itu adalah saat barang keluar dari gudang penjual atau pada saat barang diterima digudang pembeli? Bila kedua hal ini terjadi pada hari yang sama, mungkin masalah tidak akan tercipta. Lalu bagaimana bila kedua hal tersebut terjadi dihari yang berbeda?
PKP penjual atau pemberi jasa tentunya tidak mau mengambil resiko terkena sanksi perpajakan. Bila dihubungkan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 13 PP Nomor143 Tahun 2000.s.t.d.t.d. PP Nomor 24 Tahun 2002, maka hal ini membuat posisi mereka makin sulit karena adanya pendekatan penyerahan bahwa PPN sudah terutang secara langsung kepada pembeli atau pihak ketiga untuk dan atas nama pembeli, atau pada saat BKP tersebut diserahkan kepada juru kirim atau pengusaha jasa angkutan.
....Umumnya, PKP pembeli tidak mau menerima Faktur Pajak yang berbeda antara tanggal penerimaan barangnya. Pembeli akan meminta agar Faktur Pajak tersebut diterbitkan kembali sesuai dengan tanggal diterimanya barang....
Untuk mudahnya, agar tidak terjadi keterlambatan, penerbit Faktur Pajak dilakukan pada saat barang keluar dari gudang PKP penjual. Namun opsi ini pun dapat menjadi masalah, khususnya bila barang sampai kegudang pembeli tidak pada hari yang sama. Umumnya, PKP pembeli tidak mau menerima Faktur Pajak yang berbeda antara tanggal pengiriman dengan tanggal penerimaan barangnya. Pembeli akan meminta agar Faktur Pajak tersebut diterbitkan kembali sesuai dengan tanggal diterimanya barang.
Walhasil, PKP penjual berada pada posisi yang sangat sulit. Bila tidak menerima permintaan pembelinya, maka perdebatan panjang akan terjadi. Lebih buruk lagi, pembeli tidak mau membayar PPN yang terutang atau malah mencari supplier lain. Namun menerima permintaan penerbitan Faktur Pajak sesuai tanggal penerimaan barang pun sulit juga.
Untungnya, kesulitan tersebut telah menjadi perhatian pihak otoritas pajak. Dipertengahan tahun 2011 lalu, Dirjen Pajak menerbitkan lah Surat Edaran bernomor SE-50/PJ./2011. Sama seperti penegasan-penegasan yang sudah diterbitkan sebelumnya, surat edaran itu pun menjadi solusi bagi pelaksanaan pemungutan PPN.
Didalam surat edaran tersebut dijelaskan bahwa atas penerbitan Faktur Pajak ini disesuaikan dengan metode penyerahan yang dilakukan oleh pihak penjual. Apakah itu dengan syarat pengiriman (term of delivery) loco gudang penjual (fob shipping point) atau dengan syarat pengiriman (term of delivery) franco gudang pembeli (fob destination).
Berdasarkan penegasan dari SE-50/PJ./2011 untuk syarat pengiriman fob shipping point pihak penjual menerbitkan Faktur Pajak ketika barang sudah keluar dari gudang penjual. Sementara bagi penjual yang menggunakan syarat pengiriman fob destination, Faktur Pajak diterbitkan ketika barang telah sampai digudang pembeli.
NUANSA ACCRUAL BASIS
Pada bagian latar belakang SE-50/PJ./2011 dinyatakan bahwa, surat tersebut diterbitkan dalam rangka memberikan kepastian hukum dan pemahaman yang sama berkaitan dengan saat pembuatan Faktur Pajak oleh PKP. Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam perundang-undangan perpajakan. Secara subtantif, SE-50/PJ./2011 mengadopsi prinsip akrual (accrual basis) seperti dinyatakan dalam memori penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN. Artinya, terutangnya pajak terjadi pada saat penyerahan BKP atau JKP, meskipun pembayaran atas penyerahan tersebut belum diterima atau belum sepenuhnya diterima. Menurut surat edaran tersebut, memori penjelasan Pasal 11 ayat (1) UU PPN diatas mencerminkan bahwa penentuan saat terutangnya pajak atas penyerahan barang dan penyerahan jasa dalam UU PPN sejalan dengan norma dalam prinsip akuntansi yang berlaku umum.
Dalam akuntansi yang berlaku umum, penyerahan barang dianggap telah terjadi apabila resiko dan manfaat kepemilikan barang telah berpindah kepada pembeli dan jumlah pendapatan dari transaksi tersebut dapat diukur dengan handal. Demikian juga dengan penyerahan jasa, diakuai pada saat pendapatan atas penyerahan jasa tersebut telah dapat diestimasi atau diukur dengan handal.
Dalam sistem akrual, pendapatan atau piutang diakui pada saat terjadinya transaksi tersebut, tanpa melihat apakah atas transaksi tersebut telah dibayar ataupun belum dibayar. Pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang dicerminkan dengan penerbitan invoice/faktur penjualan yang sekaligus menjadi dokumen sumber dan sebagai dasar pencatatan pengakuan pendapatan atau pencatatan piutang.
SAAT PENERBITAN INVOICE
Singkat kata, penerbitan SE-50/PJ./2011 menambahkan beberapa kondisi saat terutangnya PPN seperti dinyatakan dalam pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000 s.t.d.t.d PP Nomor 24 Tahun 2002. Menurut butir ke-3 huruf a angka (1d) SE-50/PJ./2011 ditegaskan bahwa saat harga atas penyerahan BKP diakui sebagai piutang atau penghasilan, atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP, sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku umum dan diterapkan secara konsisten merupakan salah satu saat penyerahan untuk penyerahan BKP berwujud yang menurut sifat atau hukumnya berupa barang bergerak.
Sementara untuk jasa, diluar ketentuan tentang saat penyerahan yang sudah diatur dalam Pasal 13 PP Nomor 143 Tahun 2000 s.t.d.t.d.PP Nomor 24 Tahun 2002. Dalam butir ke-3 huruf (b1) SE-50/PJ./2011 disebutkan bahwa saat penyerahan JKP diakui sebagai piutang atau penghasilan atau pada saat diterbitkan faktur penjualan oleh PKP sesuai dengan prinsip akuntansi yang berlaku secara umum dan diterapkan secara konsisten.
Dengan diperbolehkannya saat penerbitan faktur penjualan atau invoice sebagai saat penerbitan Faktur Pajak, maka PKP penjual atau pemberi jasa tentunya mempunyai waktu yang cukup lapang. Dengan begitu, tentu saja adanya kebijakan ini dapat meminimalisir terjadinya kesalahan dalam penerbitan Faktur Pajak. sumber.Majalah Indonesian Tax Review
No comments:
Post a Comment
Wellcom To My Blog